Guru...kau menerangi gelapku...

Guru merupakan faktor penting dan penentu dalam keberhasilan proses pembelajaran. Beberapa waktu lalu saya berdiskusi dengan mahasiswa di kelas tentang "pendidik". Salah satu mahasiswa melontarkan pertanyaan "jika temen-temen semua dihadapkan pada dua pilihan, pilihan pertama adalah mengajar di sekolah favorit dengan input siswa yang relatif tinggi serta fasilitas memadai atau mengajar di sekolah terpencil, dengan input siswa yang relatif rendah dan fasilitas yang serba terbatas, temen-temen bakal pilih yang mana ya?". Sejenak kelas menjadi hening, kemudian beberapa mahasiswa mengemukakan pendapat mereka. Sebagian besar menjawab memilih untuk mengajar di tempat terpencil dan sebagian kecil memilih di sekolah favorit.
Saya sendiri sebenernya tidak terfikir dengan pertanyaan itu, saya pikir secara normatif orang akan menjawab mengajar di sekolah terpencil...ya seperti mengerjakan soal dalam pelajaran PPKn, jawaban yang secara norma dianggap baik akan lebih banyak dipilih. Namun apa yang sebenarnya terjadi di lapangan?
Beberapa kali saya melihat liputan di televisi dan membaca berita di koran tentang sekolah di daerah terpencil, selalu saja mereka mengeluh kurangnya sumber daya manusia (guru) seperti yang terjadi di Maros (Sulawesi Selatan), Nias dan Pakpak Barat (Sumatera Utara), Aceh, NTT dan beberapa daerah lain. Berbeda dengan di daerah terpencil, di beberapa daerah Jawa dan Bali bagian kota, banyak sarjana pendidikan yang menganggur dan mengaku kesulitan untuk mencari lowongan guru karena membludaknya lulusan sarjana pendidikan beberapa tahun terakhir. Hal ini menjadi dua hal yang berkebalikan, berarti penyebaran guru tidak merata, kalau yang dari kota mau mengajar di daerah terpencil...peluang sangat banyak disana.
Memilih untuk mengajar di daerah terpencil memang tidaklah mudah, salah satu alasan yang mendasar adalah kebutuhan untuk dekat dengan keluarga (terutama bagi mereka yang sudah berkeluarga dan mempunyai anak). Bagaimanapun juga anak juga butuh sosok ayah/ibu yang selalu ada buat mereka dan kita sebagai orang tua tidak bisa melalaikan kewajiban itu. Alasan berikutnya adalah akses dan fasilitas yang tentunya tidak semudah di kota... bagi sebagian besar guru atau bahkan hampir semua, fasilitas yang memadai tentunya akan mendukung berhasilnya proses belajar mengajar. Di sekolah terpencil dengan fasilitas yang serba minim, jangankan untuk menonton film bersama atau mencari sumber di internet, ruang kelas saja harus mereka pakai secara bergantian. Misalnya saja di salah satu sekolah di Majene satu ruang kelas harus di bagi untuk kelas 1 dan 2. Satu papan tulis harus dipakai secara bergantian, dengan demikian guru harus berjuang ekstra keras mencari alternatif agar bisa memaksimalnya fasilitas yang minimal itu dan inilah yang membuat banyak guru memilih untuk tidak mengajar di tempat terpencil.
Ketakutan dan alasan-alasan itu tidak berlaku bagi guru-guru inspiratif dan kreatif, seperti guru-guru di Sokola...salah satu sekolah alternatif yang didirikan oleh Butet Manurung. Butet, yang sebenarnya tidak pernah terbayang menjadi seorang guru justru mau dan mampu mengabdikan dirinya untuk mengajar di daerah terpencil yang bahkan kesadaran untuk belajarpun masih sangat kurang, Butet mengajar di gubuk-gubuk petani di tengah hutan, terkadang di batu-batu pinggiran sungai atau malah di atas pohon besar. Materi yang diajarkan lebih dititik beratkan pada belajar membaca dan menulis -dengan tujuan agar mereka bisa membaca dan memahami surat perjanjian dari investor yang selama ini banyak merugikan mereka- dan mengajarkan bahwa mereka harus mencintai alam mereka dan berusaha untuk menjaga dan memeliharanya serta tidak mudah menyerahkan kepada orang asing yang terkadang tidak bertanggung jawab.
Contoh lain adalah, para pengajar muda -begitulah sebutan bagi para guru Indonesia mengajar- yang rela meluangkan waktu dan meninggalkan aktivitas keseharian mereka, mendedikasikan tenaga mereka untuk menyalakan lilin, memberikan penerangan dalam gelap dan menjadi inspirasi bagi anak-anak di daerah terpencil yang sangat membutuhkan mereka. Mereka mengajarkan hal-hal kecil, seperti cara menggosok gigi yang benar, menanamkan kedisiplinan dalam kegiatan sehari-hari, mengajarkan bernyanyi dan banyak hal yang sebenarnya terkesan sederhana dan tidak berarti akan tetapi memberikan perubahan besar bagi masa depan mereka.
Beberapa contoh diatas hanya beberapa saja diantara puluhan atau ratusan atau bahkan ribuan orang yang berjuang dan mendedikasikan hidupnya untuk mengajar. Selama ini masih banyak guru yang hanya mengajarkan materi pembelajaran, mentransfer isi seluruh buku paket tanpa berfikir bagaimana kondisi siswanya... Rhenald Kasali dalam sebuah artikel, menyebut guru yang seperti ini adalah guru kurikulum. Renald mengatakan bahwa ada dua macam guru, guru kurikulum dan guru inspiratif. Guru kurikulum adalah guru yang patuh pada kurikulum dan akan merasa berdosa ketika seluruh isi buku tidak tersampaikan ke siswa, sedangkan guru inspiratif adalah guru yang tidak terpaku pada kurikulum, yang mau dan mampu mencetak generasi pembaharu dan mengembangkan potensi masing-masing siswa. Pertanyaan buat kita sekarang, mau menjadi guru yang seperti apakah kita?

Komentar